Selasa, 12 Agustus 2008

PAHLAWAN SIMAGO MAGO

Masyarakat Angkola Sipirok merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari Kesatuan Bangsa Indonesia. Di awal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pun mereka ikut serta dalam perjuangan fisik melawan penjajah Belanda, yang datang kembali bersama sekutu dari arah Padang (Sumatera Barat). Sebagian besar pemuda di Daerah ini tidak sempat menikmati kemerdekaan, mereka gugur sebagai pahlawan bangsa, jasadnya kembali ke tanah haribaan ibu pertiwi. Di Desa Huraba Kecamatan Batang Angkola, tentara Belanda yang maju mendesak dari arah Padang (Sumatera Barat) mendapat perlawanan gigih dan tidak kenal menyerah dari para pejuang Angkola Sipirok dan sekitarnya didukung oleh tentara Republik Indonesia. Pada beberapa kali pertempuran besar dan dahsyat itu banyak para gerilyawan dan tentara Republik yang gugur sebagai kesuma bangsa, yang sampai saat ini dikenang indah berupa bangunan "Tugu Benteng Huraba" yang tinggi menjulang berbentuk benteng pertahanan yang kokoh yang dibangun bersama, terutama oleh sesepuh Brimob. Kepada mereka semua, terutama 151 orang yang gugur di Front Angkola Sipirok pada saat menghadang pasukan Belanda yang menyerang lewat jalur Padang itu patut kita salut dan bangga, salah satu caranya tentu menata makam mereka di Makam Pahlawan Simagomago, sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Pasukan istimewa "Selikur" di bawah pimpinan Mayor Bejo dan pasukan gerilya di bawah pimpinan Sahala Muda Pakpahan. Pada hari itu mereka mendapat berita bahwa sepasukan tentara Belanda akan berangkat dari Padang Sidempuan ke Sipirok. Pasukan gabungan tadi mengambil tempat untuk menghadang di jembatan Aek Horsik yang terletak di antara kampung Mandurana dan Situmba dekat Taman Pahlawan Sipirok sekarang. Dari atas sebuah tebing para gerilyawan tersebut menghujani dengan granat tangan dan tembakan-tembakan senapan. Karena tentara Belanda yang lewat itu tidak menyangka, bahwa mereka akan dihadang di tempat itu, maka akhirnya mereka banyak menjadi korban. Akibat penghadangan itu tentara Belanda itu tidak lagi meneruskan perjalanannya ke Sipirok, akan tetapi mereka kembali ke Padang Sidempuan membawa para korban itu. Setelah mereka berangkat, rakyat kampung Situmba itu menyaksikan bahwa banyak sekali darah yang bertumpah di tempat penghadangan itu. Menurut keterangan dari rakyat setempat mengatakan bahwa salah satu dari kendaraan-kendaraan yang ditumpangi tentara Belanda tersebut ada yang berbendera kuning. Sejak hari itu dan beberapa waktu kemudian, markas-markas tentara Belanda di Huraba, Padang Sidempuan, Sipirok dan Arse mengibarkan bendera setengah tiang atas kematian Jenderal Spoor dan anak buahnya. Beberapa kendaraan yang mereka tumpangi itu menderita kerusakan, berlobang-lobang dan sebuah mobil jeep yang menjadi sasaran granat terbakar. Sebagai pembalasan pada sore hari itu juga, tentara Belanda datang lagi ke tempat itu dan menembak mati 6 orang anggota pertahanan Sipirok yang tidak bersenjata, dengan menyandarkan para korban pada sebuah tebing di tepi jalan besar dekat kampung Sabasiala. Pada 20 Februari 1949 di Aek Latong, yang jaraknya + 7 kilometer dari Sipirok, patroli Belanda juga dihadang oleh para gerilya. Dari hasil penghadangan itu, rakyat setempat menyaksikan, pertempuan itu. Mereka melihat sekurang-kurangnya 6 orang tentara Belanda yang diusung dalam keadaan berlumuran darah. Setelah kemerdekaan, makam para pejuang Front Sipirok dibongkar dengan maksud untuk dibawa ke Kota Sibolga, sebagai penghargaan untuk mereka akan dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Keresidenan Tapanuli di Sibolga, tetapi dengan permintaan keluarga, tokoh masyarakat dan pengetua adat sebagian masih tinggal di Taman Makam Pahlawan Simago-mago Kota Sipirok sampai sekarang.